Jumat, 08 Januari 2010

punakawan

Dalam wayang Jawa, punakawan terdiri dari :
Semar Badranaya
Petruk
Bagong
Nala Gareng


Semar Badranaya
Dalam cerita, dia adalah pengasuh utama para Pandawa. Bila didampingi olehnya, maka yang didampingi tidak akan menghadapi malapetaka. Wujudnya jelek : wajah tua namun berkuncung seperti anak kecil, tidak jelas laki perempuannya, mulut tersenyum tetapi matanya mbrebes mili (menitikkan airmata) yang perlambang keseimbangan.
Semar berasal dari kata bahasa Arab yakni Ismar (pernah saya ulas sedikit lewat cerpen saya yang berjudul
ISMAR ) yang dalam lidah Jawa menjadi Semar. Sedang Ismar sendiri berarti paku, dimana fungsinya adalah sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia. Apakah pedoman hidup manusia itu? Tiada lain tiada bukan adalah agama. Oleh karenanya, Semar bukanlah tokoh yang harus dipuja bahkan didewakan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok kepercayaan, namun penciptaan lakon ini didasarkan pada pelambangan agama sebagai pedoman hidup manusia.
Sedang kata Badranaya berasal dari kata Badra yang berarti kebahagiaan dan Naya berarti kebijaksanaan. Maksudnya adalah memimpin dengan bijaksana serta menggiring masyarakat untuk beribadah kepada Allah SWT. Negara akan stabil bila Semar bersemayam di Pertapaan Kandang Penyu, dimana maksudnya adalah penyu(wunan) atau permohonan kepada Allah SWT. Dimana makna dakwahnya sangat jelas dan dijabarkan oleh penciptanya yakni para Wali.
Petruk
Kata Petruk sendiri berasal dari kata Fatruk yang dicukil dari kalimat Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahi yang artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh pada masa itu. Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong (kantung berlubang) yang bermakna setiap manusia harus berzakat dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti berlubangnya kantung tanpa penghalang.
Bagong
Bagong sendiri berasal dari kata Baghaa yang berarti memberontak melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum belaka).
Gareng
Gareng atau Nala Gareng berasal dari kata Naala Qariin yang bermakna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman (umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Dari sekian sudut pandang tentang para punakawan ini, saya cenderung lebih memilih sisi pandang para Wali. Ini dikarenakan punakawan dipercaya adalah buatan para Wali Songo khususnya Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam didalam masyarakat Jawa pada masa itu, karena dimasa-masa tersebut, dalam mendakwahkan untuk masyarakat Jawa yang masih kental animisme-dinamismenya, harus menggunakan trik budaya dalam menyampaikan Islam.
Memang ada yang memandang Semar –misalnya- adalah Dewa asli orang Jawa dengan nama Hyang Bambang Ismaya. Namun bagi saya secara pribadi, makna Islami sangat kuat –yang barangkali kurang disetujui lainnya- dalam setiap watak punakawan, dan saya tidak melihat harus ada sesaji tidaknya, karena bukan kapasitas saya membicarakan hal tersebut. Mungkin ada yang anti wayang karena dianggap berbau mistik, tapi itu bebas merdeka terserah mereka. Tentu saja terbungkus samar dalam konteks Jawa.
Barangkali peran punakawan harus dikembangkan lagi dalam wujud dakwah yang sesuai dengan masa sekarang, karena bagaimanapun itulah sumbangan budaya yang besar bagi perkembangan Islam khususnya di tanah Jawa